Lelaki kecil itu berjalan kepadaku dengan lunglai. Aku tak dapat sepenuhnya mengerti pesan yang disampaikan mata kecil yang sedih itu. Mungkin dia letih dengan hidupnya yang serba kekurangan hingga tak dapat membiayai sekolahnya. Mungkin dia benci karena saat ini dia masih harus meminta pada kami, bahkan untuk membayar tiket renang sekalipun.
Aku sedih dan marah. Bukan karena dirinya. Mungkin kepada negara yang mengingkari janji untuk memeliharanya. Mungkin kepada Tuhan, karena tidak menciptakan manusia dengan kondisi ekonomi yang sama. Mungkin pada diriku sendiri, karena hingga saat ini belum mampu berbuat banyak untuk menolong dia dan teman-temannya.
Aku ingin sekali melihatnya tersenyum bahagia, bermain-main, berlari-lari dengan bebas. Mengejar layangan yang putus atau bermain bola dengan teman-temannya. Anak seusianya tidak pantas merasakan beban hidup yang begitu rupa. Anak seusianya tidak perlu bekerja di bengkel seusai sekolah hanya untuk membiayai ongkos angkutan umum untuk pulang-pergi ke sekolahnya.
Aku ingin menangis untuknya, dan untuk anak-anak lainnya dengan jumlah yang tak terhitung banyaknya. Bukan karena aku mengasihani mereka, tetapi aku mengasihani masa depan bangsa ini. Apa jadinya bangsa ini dengan anak-anak yang tidak bahagia?