Ada relung yang kusisakan di hati ini untukmu… entah untuk berjaga-jaga, entah karena setia kamu selalu ada disana, entah sampai kapan… entah akan kulepas kuizinkan.
Hingga saat ini kamu berupa jeda tanpa henti yang tak terbaca Bagaimana kabar dunia untukmu?
dan cinta kita tidak hilang… aku hanya berusaha mambunuhnya menenggelamkanmu dalam lautan tak bermakna meracunimu dengan senyumanku hingga perlahan-lahan nadimu teriris kata-kataku tubuhmu tercekik memintaku… dan saat itu baru kau akan tahu betapa berartinya aku.
Lihatlah senja perlahan mengurai cahaya makna-makna menggantung meninggalkan cerita yang tak pernah selesai dan kau berusaha meraih potongan diriku yang berlompatan di siang hari
pagi hari kita bertemu, dan mentari seakan berputar, naik, menggembung… terlalu cepat menyeret siang… sehingga belum sempat kau merasakanku
Ketika aku membaca suratmu di layar itu. Kusadar itu memang bukan untukku. Namun dalam ketaktahuanku; aku bertanya. Sepanjang luka yang kau tanggung di dada, sepanjang jalan yang sudah ditempuh : aku berkaca. Dua orang manusia berdaulat telah membuat keputusan : aku tak ingin campuri itu. Kamu, seorang manusia dengan -mungkin- beban penuh telah meregang semua rasa. Hingga hilang duri; remah getir dalam pelukanmu. Ketika aku membaca suratmu di layar itu. Tak sedikit pun ingin untuk memasuki alamnya. Karena aku memang bukan siapa-siapa. Bukan guru, bukan orang bijak, bukan dokter, atau bukan pula pengacara. Aku hanyalah tempat sampah. Yang siap menampung remah-remah dunia kalian, yang sangat bersedia untuk ditaruh pilu dalam malam-malam panjang. Aku adalah tempat sampah yang berbahagia. Tak sedikit pun mengeluh untuk menampung sisa-sisa kotor.
Ketika aku membaca suratmu di layar itu. Ada rasa iba. Ada ketakutan. Ada kelegaan. Ada kekaguman. Ada segurat senyum. Namun, aku ragu untuk membaginya. Karena tempat sampah pun tak punya hak untuk itu. Aku adalah sabda dari semua kenihilan. Dalam benak, aku hanya berbisik: biarlah, biarlah. Bahagialah kalian dengan apa yang kalian putuskan sendiri. Jika pun sedih, biarlah dunia yang menjaga kalian. Harapanku yang terakhir dari semua yang akhir, aku tetap di sini : entah untuk mengganggumu atau membangkitkan amarahmu. Aku tetap di sini tanpa mampu memberikan sesuatu berlebih; kecuali kotak kosongku untuk diisi sampah-sampah kamu, dan juga orang yang kautulis dalam surat itu. _juno
Ketika aku membaca suratmu di layar itu. Kusadar itu memang bukan untukku. Namun dalam ketaktahuanku; aku bertanya. Sepanjang luka yang kau tanggung di dada, sepanjang jalan yang sudah ditempuh : aku berkaca.
Dua orang manusia berdaulat telah membuat keputusan : aku tak ingin campuri itu. Kamu, seorang manusia dengan -mungkin- beban penuh telah meregang semua rasa. Hingga hilang duri; remah getir dalam pelukanmu.
Ketika aku membaca suratmu di layar itu. Tak sedikit pun ingin untuk memasuki alamnya. Karena aku memang bukan siapa-siapa. Bukan guru, bukan orang bijak, bukan dokter, atau bukan pula pengacara.
Aku hanyalah tempat sampah. Yang siap menampung remah-remah dunia kalian, yang sangat bersedia untuk ditaruh pilu dalam malam-malam panjang. Aku adalah tempat sampah yang berbahagia. Tak sedikit pun mengeluh untuk menampung sisa-sisa kotor.
Ketika aku membaca suratmu di layar itu. Ada rasa iba. Ada ketakutan. Ada kelegaan. Ada kekaguman. Ada segurat senyum. Namun, aku ragu untuk membaginya. Karena tempat sampah pun tak punya hak untuk itu. Aku adalah sabda dari semua kenihilan. Dalam benak, aku hanya berbisik: biarlah, biarlah. Bahagialah kalian dengan apa yang kalian putuskan sendiri. Jika pun sedih, biarlah dunia yang menjaga kalian. Harapanku yang terakhir dari semua yang akhir, aku tetap di sini : entah untuk mengganggumu atau membangkitkan amarahmu. Aku tetap di sini tanpa mampu memberikan sesuatu berlebih; kecuali kotak kosongku untuk diisi sampah-sampah kamu, dan juga orang yang kautulis dalam surat itu.
_juno