"perkara kecil membelenggu wanita dengan tetek bengek yang malah disyukuri olehnya secara serius, dungu, dan syahdu" -toeti heraty, 1980-
adalah sulit untuk selalu menjadi cantik dan sempurna sebab tak pernah ada habisnya
adalah penekanan yang diberikan media tentang bagaimana menjadi cantik
adalah pengkhianatan atas diri, untuk berada dibalik topeng itu
sebagian perempuan meredam kemarahan, sebagian lainnya mengangguk pasrah atas dikotomi ketika cantik berarti mendapat lebih banyak lelaki ketika cantik fisik berarti baik, diterima, dan diinginkan
lalu setelah semuanya berkerut dan mengendur, apakah yang tersisa?
kau adalah ilusi sempurna yang menggenapkan hasrat kau adalah pucuk tertinggi cemara itu, indah, namun tetap tak bisa kuraih kau adalah legenda para arwah yang selalu menghantuiku menantiku di ujung batas kesadaran
dalam sunyi aku memohon semoga tak pernah habis getar ini dalam gelap aku merintih mengapa rasa ini tak kunjung usai?
aku berharap, pentingkah itu bagimu? bila kau bahkan tak tahu aku ada aku hanya setetes embun yang tak puaskan dahagamu
dalam doaku kuharap lembayung memulas harimu hingga kau dapat baca kata hati ini di langit senja
kau memantrai pekat ya, agar dia enyah dariku? atau kau kirim sihir itu dalam hujan, agar dia membasuh sunyi?
sekarang bulan menatapku cemburu, pikirnya aku telah menyerap habis cahaya, berpendar lebih terang darinya
baiknya kukatakan saja padanya : ini terjadi karena-mu lalu kukirim engkau dalam roket ke bulan ayolah, ubahlah permukaan kering bolong itu menggembung dan bercahaya : penuh!
semoga saja kau tahu jalan pulang aku akan disini saja, menunggu sebongkah batu bulan dan ceritamu
perempuan akan membawa segenap rindunya menaiki bianglala bergumam menatap garis batas cakrawala berharap melihatnya dari atas sana lika liku hutan yang menyimpan lelakinya
udara meranggas memarut waktu
dalam hening :
sayangku, tak peduli seberapa jauh kau berada, seberapa jauh kau tersesat, seberapa risau aku menunggu, tak usah khawatir...
karena cerita kita ditulis oleh tangan yang sama
tetesan hujan yang sama membasuh wajah kita perciknya membawa potongan diriku tersenyum dalam warna
masih juga pedih itu bersembunyi dibalik senyummu kuterjaga disana mendengarmu ceritamu mengalun bagai angin musim gugur berhembus di senja muram membawa pesan kematian yang menggugurkan dedaunan dengan jahat dan congkak
aku ingin berbaring terlentang disana bagai tanah sepenuh hati menerima jatuhnya dedaunan meski mereka mengoyak dan menghujam tubuhnya
tak mengeluh mendengar gaduhmu mendekapmu menjagamu memberimu sebentuk kehangatan meskipun kau tak meminta
kepada Tuhan kupintakan lilin putih penerang jalanmu jika lilin putih itu adalah aku, aku relakan tubuhku terbakar, berpartisi bersama udara menatapmu dari kejauhan dan tak henti mendoakanmu